Rabu, 24 Februari 2010

Review Film Wall-E


Akibat kebiasaan kita membuang sampah sembarangan pada hari ini, suatu saat di masa depan jumlah sampah sudah tak ketulungan lagi dan Bumi menjadi tempat yang sangat kotor. Seluruh penduduk planet ini terpaksa diungsikan ke luar angkasa selama lima tahun, sementara Bumi dibersihkan oleh para robot.

Namun, program bersih lingkungan itu ternyata gagal total, dan rencana pengungsian sementara selama lima tahun pun molor jadi 255.642 hari atau lebih dari tujuh abad! Sampai para cucu dan cicit penduduk Bumi itu pun sudah lupa akan rumah mereka dan keasyikan tinggal di kapal luar angkasa raksasa Axiom.
Tinggallah di Bumi tersisa satu robot pembersih sampah kecil bernama WALL-E (singkatan dari Waste Allocation Load Lifter-Earth Class, dibaca Wally). Robot yang sudah karatan ini tiap hari masih tetap mengerjakan tugas rutinnya: mengumpulkan sampah, mengepresnya menjadi kubus kecil, dan menyusunnya hingga setinggi gedung pencakar langit.

Satu-satunya teman adalah seekor kecoak dan rekaman film Hello, Dolly!, film musikal romantis dari tahun 1969 yang dibintangi Barbra Streisand dan Walter Matthau. WALL-E selalu terkesan dengan adegan akhir film itu, di mana dua tokoh utamanya bergandengan tangan. WALL-E pun merindukan sesosok teman sejati yang bisa ia gandeng tangannya.

Jatuh cinta

Sampai suatu hari datang pesawat luar angkasa yang membawa robot canggih bernama EVE (Extraterrestrial Vegetation Evaluator). WALL-E jatuh cinta pada pandangan pertama kepada EVE yang canggih, seksi, dan punya tangan yang lembut tetapi juga bisa jutek dan merusak dengan senjata lasernya.


Setelah beberapa hari tinggal bersama WALL-E, EVE dijemput kembali oleh pesawat luar angkasa misterius. Dengan kebulatan tekad tak ingin berpisah dengan EVE, WALL-E membonceng pesawat tersebut yang membawanya dalam perjalanan menyeberang galaksi menuju orbit pesawat induk Axiom.

EVE ternyata robot yang diprogram untuk melacak jejak kehidupan (dalam bentuk tanaman) di Bumi sejak ditinggalkan para penghuninya 700 tahun silam. Apabila tanaman itu ditemukan, berarti Bumi sudah siap dihuni manusia kembali, dan pesawat Axiom bisa segera membawa semua penumpangnya pulang.

Namun, rencana itu tak berjalan mulus karena sistem pilot otomatis Axiom telah diprogram untuk tak pernah membawa penduduk Bumi pulang. Tinggal WALL-E dan EVE berjuang membantu sang kapten kapal mengembalikan para penumpang.

Tanpa dialog

Itulah plot cerita film terbaru produksi Pixar Animation Studios dan Walt Disney Pictures, WALL-E. Film garapan sutradara Andrew Stanton (filmnya terdahulu, Finding Nemo, meraih Oscar sebagai Film Animasi Terbaik tahun 2004) ini mengembalikan hakikat film yang sesungguhnya, yakni menuturkan cerita melalui rangkaian gambar bergerak (motion picture).

Hampir sepanjang film tak ada dialog dari para tokohnya, yang sebagian besar adalah robot (yang memang seharusnya tak bisa ngomong). Cerita dituturkan melalui detail rangkaian gerak, aktivitas, dan peristiwa yang kemudian mendefinisikan karakter dan gejolak emosi setiap tokoh.

Melalui gerakan WALL-E yang gesit dan lincah di atas roda rantainya, bagaimana dia menumpuk sampah demi sampah, mengisi tenaga baterai dari sel surya setiap pagi, mengoleksi barang-barang unik dari tumpukan sampah, dan interaksinya dengan si kecoak, penonton langsung paham robot itu berkarakter periang, pekerja keras, pantang menyerah, kreatif, berhati lembut, romantis, setia kawan, tetapi sekaligus merasa kesepian yang amat sangat.

Melalui WALL-E, kemampuan animasi Pixar mencapai tingkatan baru. Detail robot pengeruk sampah yang berkarat dengan segala gerakan dan pernik-perniknya tampil sangat nyata. Berbeda dengan Cars yang ”memanusiakan” gerak mobil, dalam WALL-E, semua benda mekanikal digambarkan bergerak sesuai dengan ”fitrah”-nya.

PENDAPAT :
Di luar pesona gambar itu, Film WALL-E juga menyentil perilaku manusia zaman sekarang yang mulai menggantungkan hidup pada teknologi. Digambarkan bagaimana manusia yang telah tujuh abad hidup dimanjakan teknologi di Axiom (berjalan pun tidak perlu, karena ada kursi terbang), telah berevolusi menjadi sangat gendut dan lembek.

Mereka juga terlalu sibuk berbicara melalui telepon video sepanjang waktu sehingga tak pernah menikmati kerlap-kerlip bintang dari jendela kapal dan tak sadar bahwa di sekitarnya ada manusia lain. Mereka bahkan tak pernah tahu kapal itu memiliki kolam renang yang sangat besar dan indah. Mengingatkan pada diri kita sendiri yang kadang lebih senang ber-SMS ria daripada ngobrol dengan teman di sebelah kita, bukan?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar